SEBATANG KEMUDI KEHIDUPAN
10/11 2011 ; 07.51:4’
Suci
Ika Yuniati_siy
Jalan… Ia berjalan dan berjalan…
Berjalan dengan beban kehidupan yang menghiasi di pundaknya. Berjalan dengan
prinsip “Yang Rajin Kan Bertahan”. Apa yang ia dapat? Upah? “Tak sebanding”.
Belum lagi caci dan maki yang datang dan pergi.
Dia, tubuh rentan menua. Kulit
mengapal, kaku teraba. Kecil di antara teman-temannya yang gagah kekar perkasa.
Sebuah gergaji dan palu yang sudah mulai mengarat, menjadi saksi hidupnya.
Dengan topi warna hitam dan alas yang mulai menipis, ia memotong satu persatu
papan berduri di depannya. Sedikit daya tak terasa. Sedikit asa harus tercipta,
untuk hidupnya.
Model jalannya yang mulai
merapuh, lirih menginjak tanah tak hijau namun tak kerontang. Diam, penuh pikir
yang tiada habis. Setiap melihat puing papan-papan berpaku, ia menghela nafas
panjang. Tangan yang layu, kering, mengapal pula, mmembuatnya sedikit terlihat
tak berfungsi, tak berguna. Akan tetapi, “Ffhuuushhhh!!!...”, asap sebuah
penyemangat semu keluar dari mulutnya yang cokelat menuai lelah.
“Pak tua, kenapa kau masih
bekerja?”, Sang Gelap berbicara lewat mulut temannya. Ia seakan tuli dengan
kata orang. Terus meratakan duri-duri yang nampak kasar di permukaan papan yang
ada di depannya. Memaku, memalu,
menggergaji, dan begitu seterusnya. Dan untuk kesekian kalinya,
“Ffhuuushhhh!!!...”, asap motivator terbesarnya kembali lebur dengan udara.
“Mengapa kau berlelah-lelah,
padahal waktumu terhitung jari (mati)”, kata Sang Waktu lewat harimau temannya.
Pak tua tidak lagi tuli, tidak pula mendengar. Ia membisu… Seakan terdiam di
tengah desiran pasir dan hembusan topan yang bergelut di perut langit. Ia
berpegang pada gergaji, palu, dan sebatang pencipta semangat dalam hidupnya.
Cacian itu tak berhenti dari
harimau milik Sang Gelap, dan alarm milik Sang Waktu. Membuat pak tua itu
berwajah temperamental sekaligus emosional. Ia mengeraskan pukulan-pukulannya
pada duri-duri berkarat itu. Ia menyepetken langkahnya, seolah menunjukkan
bahwa dia juga sama dengan teman-temannya. Seakan ia ingin terlihat oleh Sang
Baik, bahwa semua caci dan maki itu bisa ia tangkis. Dan memang iya, “Pak tua,
jerih payahmu adalah hidup mereka. Kerajinanmu adalah harapan mereka.”, tegur
Sang Baik menggema dalam gendang nuraninya.
Ia terlebur lelah, bercampur
marah, tak berharkat serasanya… “Aku BISA!!!...”, teriak pak tua sembari
menekan laju langkah kakinya. Terhenti… iya, ia terhenti…
Terhenti di permukaan papan
berduri. “Arghhhh!!!...”, sakit mulai menjalar sekujur tubuhnya. Darahpun mulai
merah memancar dan tercecer pada alasnya yang tipis dan semakn menipis itu.
“Pak tua, ayo ke PUSKESMAS!”,
teriak salah seorang temannya. “Tidak! Aku pasti bisa!”, jawabnya dengan lirih
dan samar karena mengepulkan asap dari mulutnya. “Bagaimana jika kau kena
Titanus, pak tua? Kau akan mati!.”, kata temannya yang lain. “Aaargghhhhhh!!!”,
ia lepas kuat kakinya dari pemprofokasi Titanus itu. Darahpun mengalir deras
layak air terjun di balik bukit berbatu cadas. Ia ambil kain pembersih kayu-kayunya
tuk digulungkan menutup luka tusukan bervonis Titanus itu. “Keras kepala kau,
pak tua! Masih juga ada waktu, mengapa mau mati? Tidak tahan ya, menjadi
kuli?”, sindir Sang Gelap dalam ucapan salah seorang temannya.
Akankah pak tua menulikan kedua
telinganya, membutakan kedua matanya? Dan membisukan mulutnya yang masih saja
menahan sebatang pengatur semangat dalam kehidupannya? “Huhh, pak tua yang
payah! Kaki sudah terkirakan Titanus, masih saja merokok. Memang ingin mati
ya?”, tanya seorang temannya yang lebih besar pawakannya sembari mengebaskan
topi hitam milik pak tua yang sempat terjatuh saat tertusuk paku tadi.
“Ffhuuussss!!!...”, terdengar
kepulan asap penuh kelegaan. “Aku tidak peduli mati karena Titanus. Yang kalian
omongkan tadi bukan saran bagi saya, tapi itu vonis. Apakah kalian Tuhan yang
Maha Berkehendak atas semua vonis yang datang kepada saya?”, pak tua angkat
bicara. “Aku disini bontang-banting tulang, tertusuk paku. Bahkan jika aku
jatuh dari atas sana, aku tidak berlebih menyeyengkan hal itu. Karena itu
takdirku! Lebih baik seperti ini, dari pada aku melihat istri, anak, dan cucuku
mati terbanting kepiluan karena tak makan hasil payahku!!!”, lanjutnya lugas
memandang setiap mata teman yang ada di depannya.
Sang Gelap, Sang waktu, dan Sang
Baik pun, diam… Namun tetap. “Ffhuuusss!!!...”, begitu ia menghela nafas yang
ia hembuskan kembali beserta kepulan asap yang khas. “Srekk!”, dengan kasar dan
penuh keyakinan ia mengambil topi hitam di tangan seorang temannya. Lihat
lakunya! Kembali gagah, menggenggam palu emasnya. Melangkah dengan kaki
terseret. “Vonis kalian. Tetap kalah dengan ini!”, ujarnya. “Kehidupanku tak
hanya aku. Tapi aku!”. “Aku tak peduli penyebab-penyebab yang mungkin akan
terjadi sesuai di labelnya, saat aku mengonsumsinya. Kemungkinan tetap
kemungkinan. Vonis tetap vonis. Dan takdir tetap milik-Nya!”, jelasnya dengan
menunjukkan sebatang penyemangat semunya, “Rokok”.
Seketika pula, semua tanya,
maki, caci, melebur dengan semangat sosok yang berkulit cokelat kering
menguncup layu itu. Melakukan apa yang tertera pada sepenggal puisi ini,
Kaki yang terpahat, terdiam
Bangunlah! Kejarlah!
Bangun dan kejar
Mimpi yang masih terlempar
Ambil dan berlarilah
Jezz… jezz… jezz… tiinnn… tinn…
Jezz… jezz… tinn… tin…
La la . . . li li . . .
Li li . . . la la . . .
Dan disana lah duniaku,
Dalam penantian keabadian,
Dalam keteduhan impian
“Tokk! Tokk!! Tokk!!!”, ia pukul paku-paku
beracun itu demi kehidupan istri, anak dan cucunya. Dengan sedikit sentuhan
dari sebatang kemudi kehidupannya, ROKOK. “Ffhuuussss!!! Ffhuuulll!!!”, kepulan
asap Sang Pengemudi Kehidupan mengiringi putaran waktu dan kebaikan takdir
Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar