Selasa, 14 Agustus 2012

Sebatang Kemudi Kehidupan_cerpen


SEBATANG KEMUDI KEHIDUPAN
10/11 2011 ; 07.51:4’
Suci Ika Yuniati_siy                       

                Jalan… Ia berjalan dan berjalan… Berjalan dengan beban kehidupan yang menghiasi di pundaknya. Berjalan dengan prinsip “Yang Rajin Kan Bertahan”. Apa yang ia dapat? Upah? “Tak sebanding”. Belum lagi caci dan maki yang datang dan pergi.
                Dia, tubuh rentan menua. Kulit mengapal, kaku teraba. Kecil di antara teman-temannya yang gagah kekar perkasa. Sebuah gergaji dan palu yang sudah mulai mengarat, menjadi saksi hidupnya. Dengan topi warna hitam dan alas yang mulai menipis, ia memotong satu persatu papan berduri di depannya. Sedikit daya tak terasa. Sedikit asa harus tercipta, untuk hidupnya.
                Model jalannya yang mulai merapuh, lirih menginjak tanah tak hijau namun tak kerontang. Diam, penuh pikir yang tiada habis. Setiap melihat puing papan-papan berpaku, ia menghela nafas panjang. Tangan yang layu, kering, mengapal pula, mmembuatnya sedikit terlihat tak berfungsi, tak berguna. Akan tetapi, “Ffhuuushhhh!!!...”, asap sebuah penyemangat semu keluar dari mulutnya yang cokelat menuai lelah.
                “Pak tua, kenapa kau masih bekerja?”, Sang Gelap berbicara lewat mulut temannya. Ia seakan tuli dengan kata orang. Terus meratakan duri-duri yang nampak kasar di permukaan papan yang ada  di depannya. Memaku, memalu, menggergaji, dan begitu seterusnya. Dan untuk kesekian kalinya, “Ffhuuushhhh!!!...”, asap motivator terbesarnya kembali lebur dengan udara.
                “Mengapa kau berlelah-lelah, padahal waktumu terhitung jari (mati)”, kata Sang Waktu lewat harimau temannya. Pak tua tidak lagi tuli, tidak pula mendengar. Ia membisu… Seakan terdiam di tengah desiran pasir dan hembusan topan yang bergelut di perut langit. Ia berpegang pada gergaji, palu, dan sebatang pencipta semangat dalam hidupnya.
                Cacian itu tak berhenti dari harimau milik Sang Gelap, dan alarm milik Sang Waktu. Membuat pak tua itu berwajah temperamental sekaligus emosional. Ia mengeraskan pukulan-pukulannya pada duri-duri berkarat itu. Ia menyepetken langkahnya, seolah menunjukkan bahwa dia juga sama dengan teman-temannya. Seakan ia ingin terlihat oleh Sang Baik, bahwa semua caci dan maki itu bisa ia tangkis. Dan memang iya, “Pak tua, jerih payahmu adalah hidup mereka. Kerajinanmu adalah harapan mereka.”, tegur Sang Baik menggema dalam gendang nuraninya.
                Ia terlebur lelah, bercampur marah, tak berharkat serasanya… “Aku BISA!!!...”, teriak pak tua sembari menekan laju langkah kakinya. Terhenti… iya, ia terhenti…
                Terhenti di permukaan papan berduri. “Arghhhh!!!...”, sakit mulai menjalar sekujur tubuhnya. Darahpun mulai merah memancar dan tercecer pada alasnya yang tipis dan semakn menipis itu.
                “Pak tua, ayo ke PUSKESMAS!”, teriak salah seorang temannya. “Tidak! Aku pasti bisa!”, jawabnya dengan lirih dan samar karena mengepulkan asap dari mulutnya. “Bagaimana jika kau kena Titanus, pak tua? Kau akan mati!.”, kata temannya yang lain. “Aaargghhhhhh!!!”, ia lepas kuat kakinya dari pemprofokasi Titanus itu. Darahpun mengalir deras layak air terjun di balik bukit berbatu cadas. Ia ambil kain pembersih kayu-kayunya tuk digulungkan menutup luka tusukan bervonis Titanus itu. “Keras kepala kau, pak tua! Masih juga ada waktu, mengapa mau mati? Tidak tahan ya, menjadi kuli?”, sindir Sang Gelap dalam ucapan salah seorang temannya.
                Akankah pak tua menulikan kedua telinganya, membutakan kedua matanya? Dan membisukan mulutnya yang masih saja menahan sebatang pengatur semangat dalam kehidupannya? “Huhh, pak tua yang payah! Kaki sudah terkirakan Titanus, masih saja merokok. Memang ingin mati ya?”, tanya seorang temannya yang lebih besar pawakannya sembari mengebaskan topi hitam milik pak tua yang sempat terjatuh saat tertusuk paku tadi.
                “Ffhuuussss!!!...”, terdengar kepulan asap penuh kelegaan. “Aku tidak peduli mati karena Titanus. Yang kalian omongkan tadi bukan saran bagi saya, tapi itu vonis. Apakah kalian Tuhan yang Maha Berkehendak atas semua vonis yang datang kepada saya?”, pak tua angkat bicara. “Aku disini bontang-banting tulang, tertusuk paku. Bahkan jika aku jatuh dari atas sana, aku tidak berlebih menyeyengkan hal itu. Karena itu takdirku! Lebih baik seperti ini, dari pada aku melihat istri, anak, dan cucuku mati terbanting kepiluan karena tak makan hasil payahku!!!”, lanjutnya lugas memandang setiap mata teman yang ada di depannya.
                Sang Gelap, Sang waktu, dan Sang Baik pun, diam… Namun tetap. “Ffhuuusss!!!...”, begitu ia menghela nafas yang ia hembuskan kembali beserta kepulan asap yang khas. “Srekk!”, dengan kasar dan penuh keyakinan ia mengambil topi hitam di tangan seorang temannya. Lihat lakunya! Kembali gagah, menggenggam palu emasnya. Melangkah dengan kaki terseret. “Vonis kalian. Tetap kalah dengan ini!”, ujarnya. “Kehidupanku tak hanya aku. Tapi aku!”. “Aku tak peduli penyebab-penyebab yang mungkin akan terjadi sesuai di labelnya, saat aku mengonsumsinya. Kemungkinan tetap kemungkinan. Vonis tetap vonis. Dan takdir tetap milik-Nya!”, jelasnya dengan menunjukkan sebatang penyemangat semunya, “Rokok”.
                Seketika pula, semua tanya, maki, caci, melebur dengan semangat sosok yang berkulit cokelat kering menguncup layu itu. Melakukan apa yang tertera pada sepenggal puisi ini,
Kaki yang terpahat, terdiam
Bangunlah! Kejarlah!
Bangun dan kejar
Mimpi yang masih terlempar
Ambil dan berlarilah

Jezz… jezz… jezz… tiinnn… tinn…
Jezz… jezz… tinn… tin…
La         la . . .                li          li . . .
Li                     li . . .                 la                     la . . .
Dan disana lah duniaku,
Dalam penantian keabadian,
Dalam keteduhan impian

            “Tokk! Tokk!! Tokk!!!”, ia pukul paku-paku beracun itu demi kehidupan istri, anak dan cucunya. Dengan sedikit sentuhan dari sebatang kemudi kehidupannya, ROKOK. “Ffhuuussss!!! Ffhuuulll!!!”, kepulan asap Sang Pengemudi Kehidupan mengiringi putaran waktu dan kebaikan takdir Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar